Entri Populer

Jumat, 29 April 2011

SAYA ANTI DEMOKRASI oleh : Emha Ainun Nadjib


Kalau ada bentrok antara Ustadz dengan Pastur, pihak Depag, Polsek, dan
Danramil harus menyalahkan Ustadz, sebab kalau tidak itu namanya diktator
mayoritas.

Mentang-mentang Ummat Islam mayoritas, asalkan yang mayoritas bukan yang
selain Islam - harus mengalah dan wajib kalah. Kalau mayoritas kalah, itu
memang sudah seharusnya, asalkan mayoritasnya Islam dan minoritasnya Kristen.

Tapi kalau mayoritasnya Kristen dan minoritasnya Islam, Islam yang harus kalah.
Baru wajar namanya.

Kalau Khadhafi kurang ajar, yang salah adalah Islam. Kalau Palestina
banyak teroris, yang salah adalah Islam. Kalau Saddam Hussein nranyak,
yang salah adalah Islam.

Tapi kalau Belanda menjajah Indonesia 350 tahun, yang salah bukan Kristen. Kalau amerika Serikat jumawa dan adigang adigung adiguna kepada rakyat Irak, yang salah bukan Kristen. Bahkan sesudah ribuan bom dihujankan di seantero Bagdad, Amerika Serikatlah pemegang sertifikat kebenaran, sementara yang salah pasti adalah Islam.

"Agama" yang paling benar adalah demokrasi. Anti demokrasi sama dengan setan dan iblis. Cara mengukur siapa dan bagaiman yang pro dan yang kontra
demokrasi, ditentukan pasti bukan oleh orang Islam. Golongan Islam mendapat
jatah menjadi pihak yang diplonco dan dites terus menerus oleh subyektivisme
kaum non-Islam.

Kaum Muslimin diwajibkan menjadi penganut demokrasi agar diakui oleh peradaban dunia. Dan untuk mempelajari demokrasi, mereka dilarang membaca
kelakuan kecurangan informasi jaringan media massa Barat atas kesunyatan Islam.

Orang-orang non-Muslim, terutama kaum Kristiani dunia, mendapatkan previlese
dari Tuhan untuk mempelajari Islam tidak dengan membaca Al-Quran dan menghayati Sunnah Rasulullah Muhammad SAW, melainkan dengan menilai dari sudut pandang mereka.

Maka kalau penghuni peradaban global dunia bersikap anti-Islam tanpa
melalui apresiasi terhadap Qur'an, saya juga akan siap menyatakan diri
sebagai anti-demokrasi karena saya jembek dan muak terhadap kelakuan
Amerika Serikat di berbagai belahan dunia.
Dan dari sudut itulah demokrasi saya nilai, sebagaimana dari sudut yang semacam juga menilai Islam.

Di Yogya teman-teman musik Kiai Kanjeng membuat nomer-nomer musik, yang
karena bersentuhan dengan syair-syair saya, maka merekapun memasuki wilayah musikal Ummi Kaltsum, penyanyi legendaris Mesir. Musik Kiai Kanjeng mengandung unsur Arab, campur Jawa, jazz Negro dan entah apa lagi.

Seorang teman menyapa:
"Banyak nuansa Arabnya ya? Mbok lain kali bikin yang etnis 'gitu..."
Lho kok Arab bukan etnis?
Bukan. Nada-nada arab bukan etnis, melainkan nada Islam. Nada Arab tak
diakui sebagai warga etno-musik, karena ia indikatif Islam. Sama-sama kolak,
sama-sama sambal, sama-sama lalap, tapi kalau ia Islam-menjadi bukan kolak,
bukan sambal, dan bukan lalap.

Kalau Sam Bimbo menyanyikan lagu puji-puji atas Rasul dengan mengambil nada
Espanyola, itu primordial namanya. Kalau Gipsy King mentransfer kasidah "Yarim
Wadi-sakib...", itu universal namanya.

Bahasa jelasnya begini :
apa saja, kalau menonjol Islamnya, pasti primordial, tidak universal, bodoh, ketinggalan jaman, tidak memenuhi kualitas estetik dan tidak bisa masuk jamaah peradaban dunia.

Itulah matahari baru yang kini masih semburat. Tetapi kegelapan yang
ditimpakan oleh peradapan yang fasiq dan penuh dhonn kepada Islam, telah
terakumulasi sedemikian parahnya. Perlakuan-perlakuan curang atas Islam telah
mengendap menjadi gumpalan rasa perih di kalbu jutaan ummat Islam.

Kecurangan atas Islam dan Kaum Muslimin itu bahkan diselenggarakan sendiri oleh kaum Muslimin yang mau tidak mau terjerat menjadi bagian dan pelaku dari mekanisme sistem peradaban yang dominan dan tak ada kompetitornya.

"Al-Islamu mahjubun bil-muslimin". Cahaya Islam ditutupi dan digelapkan oleh
orang Islam sendiri.

Endapan-endapan dalam kalbu kollektif ummat Islam itu, kalau pada suatu
momentum menemukan titik bocor - maka akan meledak. Pemerintah Indonesia
kayaknya harus segera mervisi metoda dan strategi penanganan antar ummat
beragama. Kita perlu menyelenggarakan 'sidang pleno' yang transparan, berhati
jernih dan berfikiran adil. Sebab kalau tidak, berarti kita sepakat untuk
menabuh pisau dan mesiu untuk peperangan di masa depan.

Sumber :

Buku Emha http://www.goodreads.com/book/show/1380373.Iblis_Nusantara_Dajjal_Dunia

1 komentar:

  1. lg g konsen baca hehe pertmuan kali ini salam knal yaa mbak..:)

    BalasHapus